Menunggu di Stasiun Bogor Foto Oleh Stevenly Takapaha |
Stasiun Bogor (BOO)—dahulu dikenal sebagai Stasiun Buitenzorg adalah stasiun kereta api kelas besar yang terletak di Cibogor, Bogor Tengah, Bogor. Stasiun yang terletak pada ketinggian +246 meter ini termasuk dalam Daerah Operasi I Jakarta. Stasiun yang dibangun pada tahun 1881 ini menjadi stasiun terminus untuk perjalanan KRL Commuter Line yang melayani kawasan Jabodetabek, yakni menuju Stasiun Jakarta Kota, Stasiun Angke, Stasiun Kampung Bandan, dan Stasiun Jatinegara. Stasiun Bogor memiliki delapan jalur dengan jalur 2 dan 3 sebagai sepur lurus. Stasiun ini merupakan bangunan yang terdiri atas dua bangunan yang berdampingan. Bangunan utamanya adalah bangunan area masuk ke stasiun, lobi, kantor administrasi, tempat penjualan tiket dan fasilitas lainnya. Sementara itu, bangunan keduanya adalah bangunan kanopi yang menaungi peron dan dua jalur kereta api.
Stasiun Bogor dibangun oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij pada tahun 1872 sebagai titik akhir jalur kereta api Batavia-Weltevreden-Depok-Buitenzorg.[2] Stasiun ini dibuka untuk pertama kalinya untuk umum pada 31 Januari 1873. Tidak kurang dari 40 tahun pertama, stasiun ini dikelola oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij, dan baru pada tahun 1913 dibeli oleh SS termasuk jalurnya.[2] Tahun 1881 dibangun stasiun baru. Sepanjang 1881-1883 SS melanjutkan pembangunan jalur kereta api dari Bogor-Sukabumi dan hingga 1887 terhubung hingga Tugu Yogyakarta. Dahulu, sebuah lapangan luas bernama Taman Wilhelmina pernah menjadi bagian dari stasiun Bogor. Pada ruang VIP berdiri monumen prasasti dari marmer setinggi 1 meter. Monumen ini sebagai simbol tanda ucapan selamat pagi dari para karyawan SS kepada David Maarschalk yang memasuki masa pensiun atas usahanya mengembangkan jalur kereta api di Jawa. Prasasti ini dibuat sebagai pengganti patung David Maarschalk yang dulunya berada di tempat prasasti ini.
Renovasi stasun pernah dilakukan oleh Kementerian Perhubungan tahun 2009. Bangunan stasiun yang bertuliskan "1881" ini, yang menghadap Jalan Nyi Raja Permas Raya (Taman Topi) ini akhirnya tidak difungsikan sebagai pintu masuk stasiun untuk umum. Kini bangunan stasiun dipindah menghadap Jalan Mayor OkingStasiun Bogor dahulu dikenal sebagai Stasiun Buitenzorg—adalah stasiun kereta api kelas besar yang terletak di Cibogor, Bogor Tengah, Bogor. Stasiun yang terletak pada ketinggian +246 meter ini termasuk dalam Daerah Operasi I Jakarta. Stasiun yang dibangun pada tahun 1881 ini menjadi stasiun terminus untuk perjalanan KRL Commuter Line yang melayani kawasan Jabodetabek, yakni menuju Stasiun Jakarta Kota, Stasiun Angke, Stasiun Kampung Bandan, dan Stasiun Jatinegara. Stasiun Bogor memiliki delapan jalur dengan jalur 2 dan 3 sebagai sepur lurus. Stasiun Bogor tempoh doeloe. Stasiun ini merupakan bangunan yang terdiri atas dua bangunan yang berdampingan. Bangunan utamanya adalah bangunan area masuk ke stasiun, lobi, kantor administrasi, tempat penjualan tiket dan fasilitas lainnya. Sementara itu, bangunan keduanya adalah bangunan kanopi yang menaungi peron dan dua jalur kereta api
Stasiun Bogor dibangun oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij pada tahun 1872 sebagai titik akhir jalur kereta api Batavia-Weltevreden-Depok-Buitenzorg.[2] Stasiun ini dibuka untuk pertama kalinya untuk umum pada 31 Januari 1873. Tidak kurang dari 40 tahun pertama, stasiun ini dikelola oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij, dan baru pada tahun 1913 dibeli oleh SS termasuk jalurnya.[2] Tahun 1881 dibangun stasiun baru. Sepanjang 1881-1883 SS melanjutkan pembangunan jalur kereta api dari Bogor-Sukabumi dan hingga 1887 terhubung hingga Tugu Yogyakarta. Dahulu, sebuah lapangan luas bernama Taman Wilhelmina pernah menjadi bagian dari stasiun Bogor. Pada ruang VIP berdiri monumen prasasti dari marmer setinggi 1 meter. Monumen ini sebagai simbol tanda ucapan selamat pagi dari para karyawan SS kepada David Maarschalk yang memasuki masa pensiun atas usahanya mengembangkan jalur kereta api di Jawa. Prasasti ini dibuat sebagai pengganti patung David Maarschalk yang dulunya berada di tempat prasasti ini. Renovasi stasiun pernah dilakukan oleh Kementerian Perhubungan tahun 2009. Bangunan stasiun yang bertuliskan "1881" ini, yang menghadap Jalan Nyi Raja Permas Raya (Taman Topi) ini akhirnya tidak difungsikan sebagai pintu masuk stasiun untuk umum. Kini bangunan stasiun dipindah menghadap Jalan Mayor Oking. Bangunan dan tata letak Pada dasarnya, stasiun ini terbagi atas dua bangunan yang saling berdampingan. Bangunan utamanya adalah berupa, area masuk stasiun, lobi, kantor administrasi, tempat penjualan tiket dan fasilitas lainnya. Bangunan lainnya adalah bangunan kanopi yang menaungi peron dan dua jalur kereta api. Bangunan utama stasiun yang ada saat ini, diresmikan sejak 1881 dan tidak banyak berubah sampai sekarang
Stasiun ini bergaya Eropa dengan berbagai motif. Misalnya ada yang bermotif geometris awan, kaki-kaki singa, dan relung-relung bagian lantai. Gaya desain ini merupakan gaya dengan nuansa kental Yunani Klasik namun dengan campuran, yaitu memiliki bentuk simetris dan serba persegi. Pada masanya, (1880 - 1889), bangunan seperti ini menjadi tren di Hindia Belanda. Arsitektur bangunan utama menampilkan ciri khas dari gaya arsitektur Indische Empire dengan bentuk massa bangunan yang simetris dengan pintu masuk dan lobi utama bergaya Neo-Klasik Kesan anggun dari stasiun ini tercipta dari bentuk atap pelana dengan bentuk segitiga dan gerbang melengkung pada fasad depan bangunan. Sedangkan pada bagian belakangnya, berupa dinding plesteran dengan ornamen garis-garis serta akhiran cornice pada bagian atas berpola lekukan-lekukan kecil yang menurut istilah arsitektur klasik disebut sebagai guttae, membingkai atap jurai di atasnya. Pintu dan jendela memiliki penutup kayu yang akhirnya memperkuat kesan klasik dari bangunan ini. Sedangkan pada bangunan di emplasemen, berupa struktur atap bentang lebar dengan rangka baja dan penutup atap plat besi gelombang
Stasiun ini memiliki dua lantai. Desain tangga kayu meliuk-liuk menghubungkan lantai 1 dengan lantai 2. Karakteristik bangunan utama khas dengan gaya Indische Empire sedangkan pada lobi bergaya Neoklasik. Indische Empire adalah gaya arsitektur era kolonial Belanda di Indonesia yang berkembang sekitar abad 18 dan 19. Gaya ini terlahir dari gaya hidup orang Eropa di Indonesia. Bangunan-bangunan dengan gaya ini berupa adaptasi aliran Neoklasik yang populer di Eropa pada masa itu dengan kondisi iklim dan bahan bangunan setempat. Bangunan-bangunan dengan gaya ini bercirikan umum adalah mempergunakan kolom-kolom dorik pada teras depan dan halaman yang luas. Neo Klasik yang juga disebut sebagai New Classicism adalah pergerakan aliran arsitektur di Eropa dan Amerika yang dimulai pada pertengahan abad ke-18. Gaya ini terinspirasi oleh reruntuhan arsitektur Yunani Klasik dan terutama Romawi.
Desain atap emplasemen (kanopi/overkapping) membentang lebar dengan rangka baja dan penutup atap dengan besi bergelombang. Atapnya sendiri merupakan atap pelana dan memilik bentuk segitiga dan gerbang lengkung. Pada bagian belakang dinding plesteran, terdapat ornamen garis-garis serta akhiran cornice (Hiasan pada tepian dan sudut bagian atas tembok, pilar atau gedung berupa profil ukiran atau molding yang menonjol ke luar sebagai akhiran dinding)[2] pada bagian atas berpola lekukan-lekukan kecil yang dinamakan guttae ( dalam istilah arsitektur klasik, membingkai atap jurai di atasnya.[2] Sedangkan Molding atau Moulding sendiri adalah garis/kontur dekoratif berbentuk permukaan datar atau melengkung, cekung atau menjorok keluar yang dipergunakan untuk hiasan dinding, batu atau kayu. Stasiun ini disibukkan oleh komuter (penglaju) dari Bogor menuju ke Jakarta. Terdapat puluhan jadwal perjalanan KRL dari stasiun ini setiap harinya. Pada tahun 2000 hingga bulan Juli 2011, stasiun ini mengoperasikan KRL Pakuan Ekspres dengan lintasan Jakarta-Bogor, p.p. dengan tarif Rp 11.000,00[butuh rujukan] untuk sekali perjananan dan telah dilengkapi dengan penyejuk udara (Seri 6000 eks Toei atauSeri 8500 ex Tokyu), yang merupakan cikal bakal KRL Commuter Line.
Dulu juga terdapat pula Kereta Rel Diesel (KRD) yang melayani rute Sukabumi-Bogor bernama Kereta api Bumi Geulis yang untuk sudah tidak aktif karena sering mengalami kerusakan. Saat ini sebagian rangkaiannya telah berhasil diperbaiki dan dirombak menjadi kereta kesehatan/klinik berjalan, RailClinic.
Pada periode bulan Juli 2011 hingga bulan Juli 2013, rangkaian KRL yang beroperasi dari Stasiun Bogor terdiri dari KRL ekonomi, KRL ekonomi-AC, dan KRL Commuter Line (Red Line). Stasiun ini melayani KRL Commuter Line AC dengan harga Rp 1.500,00 (ekonomi hanya sampai Depok Lama), Rp 2.000,00 (ekonomi tujuan akhir Jatinegara lewat Tanah Abang, Duri, Kampung Bandan, Pasar Senen, Ekonomi tujuan akhir Jakarta Kota lewat Manggarai, Gondangdia, Gambir, Juanda), Rp 6.000,00 (Commuter Line AC hanya sampai Depok Lama), dan Rp 7.000,00 (Commuter Line AC tujuan akhir Jatinegara lewat Tanah Abang, Duri, Kampung Bandan, Pasar Senen atau KRL Commuter Line AC tujuan akhir Jakarta Kota lewat Gondangdia, Gambir, dan Juanda).
Seiring dengan penghapusan KRL Ekonomi dan diganti dengan rangkaian KRL Commuter Line AC, Stasiun Bogor kini melayani dua layanan KRL Commuter Line; Yellow Line/Jakarta Loop Line ke Stasiun Angke, Kampung Bandan, sampai dengan Jatinegara, serta Red Line ke Stasiun Jakarta Kota.
Selain melayani kereta komuter menuju Jakarta, Stasiun Bogor juga menjadi tempat langsiran Kereta api Pangrango yang diberangkatkan dari Stasiun Bogor Paledang yang berjarak 200 meter di sebelah selatan Stasiun Bogor untuk melayani rute Cianjur-Sukabumi-Bogor. Langsiran tersebut dilakukan di Stasiun Bogor karena Stasiun Bogor Paledang hanya memiliki satu jalur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar