Bentrokan antara tentara Kesultanan Sulu yang datang menyusup ke wilayah Sabah Malaysia (Kalimantan Utara dengan Tentara Diraja Malaysia beberapa waktu lalu, tentu dapat membangkitkan kembali pada ingatan akan sepak terjang bajak laut Balangingi atau Barangingi yang menjadi momok menakutkan bagi penduduk kepulauan nusantara. Bagi masyarakat di Kepulauan Sangihe Talaud Provinsi Sulawesi Utara misalnya, Balangingi menjadi legenda tentang keganasan orang yang datang dari laut yang konon doyan makan daging manusia. Dan orang-orang tua dulu sering menyematkan sebutan Balangingi bagi orang yang suka melakukan kekejaman terhadap orang lain. . “I o kete ere Warangingi, u inas sa traumata,” kata orang-orang tua di Kepulauan Talaud yang saat ini merupakan kabupaten paling utara di Provinsi Sulawesi Utara. Balangingi (barangingi, warangingi), juga dianggap penculik yang piawai sehingga kerap dipergunakan untuk menakut-nakuti anak-anak yang suka keluyuran. Namun, banyak yang tidak tahu bahwa sebenarnya yang disebut Balangingi adalah nama satu pulau kecil di gugusan Kepulauan Sulu dan tentu menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Sulu. Meski hanya satu pulau kecil, namun dimasa lampau, Balangingi sangat terkenal karena merupakan tempat tinggal para perompak, bajak laut, atau lanun yang merajalela di perairan nusantara. Bahkan karena begitu terkenal, maka hampir semua bajak laut disebut “Balangingi,” pada yang menjadi bajak laut juga banyak dari Mindanao (Mangindano) dan orang Morotai. Mengenai para bajak laut itu, diulas panjang lebar oleh Lapian dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan dengan judul “Orang Laut, Panglima Laut dan Raja Laut,” oleh Universitas Indonesia. Bajak laut Balangingi ini yang dulu sering datang merampok ke kepulauan Sangihe Talaud, menangkapi orang-orang untuk diperjual belikan sebagai budak. Tentu, masyarakat di Nusa Utara tidak tinggal diam. Berbagai upaya pun dilakukan untuk menangkal keganasan bajak laut Balangingi. Bahkan pertempuran antara masyarakat setempat melawan Balangingi tak terelakkan. Di Desa Bulude pulau Kabaruan, masyarakat sudah menyiapkan lokasi untuk menangkal serangan para bajak laut itu. Tempatnya di atas perbukitan yang disebut “Lombonnanak.” Menurut ceritera orang-orang tua, jika perompak Balangingi mendatangi desa ini, penduduk langsung mengungsi di puncak perbukitan yang diapit jurang terjal. Pada bahu perbukitan itu, sudah disiapkan batu-batu berukuran besar terikat di pepohonan, dan jika ada Balangingi bermasud mengejar penduduk hingga ke tempat pengungsian, penduduk tinggal memotong tali pengikat batu, dan bebatuan langsung menggelinding kearah para perompak. 13652400531913044495 Pulau NUSA DOLONG (Pulau JOLLY) menjelang matahari terbenam dilihat dari Desa Awit (Dokumentasi Pribadi) Salah satu kedatangan perompak Balangingi ke kepulauan Talaud yang tercatat dalam sejarah adalah penyerbuannya di wilayah Beo Pulau Karakelang sekitar tahun 1860-an. Perompak berkekuatan sekitar 300an orang itu datang menggunakan puluhan perahu dan berhasil menawan sekitar 150an penduduk Beo dan daerah sekitarnya. Tapi saat itu kegiatan penyebaran agama kristen oleh misionaris Belanda (zending) sudah aktif di kepulauan Sangihe Talaud. Misionaris Zending yang bertugas di Talaud, adalah Tauffman di desa Beo untuk wilayah pulau Karakelang bagian Barat, Richter di Rainis untuk pulau Karakelang bagian Timur, Van Essen diLirung untuk pulau Salibabu dan Gunter di Mangaran untuk pulau Kabaruan). Dengan adanya kegiatan perkabaran injil tersebut, kapal perang kolonial Belanda pun rutin melakukan patroli laut di perairan Sangihe Talaud. Kapal perang “Reteh” salah satu kapal perang kolonial Belanda yang berpatroli di kawasan ini, dan pada bulan April 1862, kapal perang tersebut berjumpa dengan armada bajak laut Balangingi di perairan lepas pantai Teluk Beo. Armada yang terdiri dari puluhan perahu membawa kitar 300 perompak ini baru usai melakukan penjarahan besar-besaran di Karakelang bagian Barat dan berhasil menawan tak kurang dari 150 penduduk untuk dijadikan budak. Dalam pertempuran ini, perahu-perahu perompak yang berukuran kecil kewalahan menghadapi kapal perang kolonial Belanda yang berukuran jauh lebih besar dan bersenjatakan meriam dalam berbagai ukuran. Dengan tembakan meriam, baberapa perahu perompak berhasil ditenggelamkan, dan dengan perkelahian jarak dekat para perompak akhirnya dibuat bertekuk lutut. Setelah tawanan dibebaskan, perompak yang tersisa dipersilakan kembali ke tanah air tentu setelah mereka berjanji tidak akan kembali merampok ke daerah ini. Tapi untuk kemenangan ini, angkatan laut Belanda mesti membayar mahal. Dalam pertempuran laut yang sengit dan heroik ini, Angkatan Laut Kolonial Belanda kehilangan seorang perwira yang gagah berani. Letnan Laut Satu, Jolly gugur saat terlibat pertempuran jarak dekat untuk membebaskan tawanan. Karena itu, sebagai ungkapan terima kasih masyarakat Talaud minta agar jenazahnya dimakamkan di Pulau Nusa Dolong (Nusa Dalam/Nusa Mararum) yang terletak di lepas pantai depan Desa Lobbo yang menjadi pintu masuk ke Teluk Beo. Untuk mengenang kepahlawanan Letnan Laut Satu, Jolly, penduduk setempat membuat bangunan makamnya mirip ruang komando kapal perang Reteh, dan juga menabalkan nama baru untuk Nusa Dolong yakni Pulau Jolly. Sayangnya, lama kelamaan masyarakat melupakan nama baru tersebut seiring dengan bangkitnya semangat anti penjajahan. Sebagian besar masyarakat Talaud pun sudah melupakan peristiwa bersejarah ini. Pada hal kejadian ini sejatinya memiliki arti penting bagi perkembangan masyarakat Talaud, sebab sejak itu pula intensitas kehadiran bajak laut kian berkurang sehingga aktivitas penyebaran injil dapat berjalan dengan aman. Dengan kata lain, pertempuran laut di Teluk Beo merupakan salah satu tonggak penting yang ikut menentukan terciptanya masyarakat Talaud yang mayoritas memeluk agama kristen, munculnya bentuk kelembagaan baru di masyarakat seperti jemaat gereja dan kegiatan pendidikan yakni dengan pendirian sekolah-sekolah. Keberadaan pulau Nusa Dolong alias Pulau Jolly yang berhubungan erat dengan masuknya Injil di Kepulauan Talaud jelas punya nilai historis. Karena itu sangat ideal jika pulau kecil ini dikembangkan menjadi obyek wisata. Sebab dengan mengangkat kembali kisah perang laut ini, tentu pulau ini menjadi menarik bagi peminat wisata sejarah baik dari mancanegara maupun domestik. Peluang menjadikannya sebagai obyek wisata terbuka lebar, sebab pemandangan alam di sekitarnya juga indah memikat. Rona pesisir pantai sepanjang Teluk Beo, seperti di desa Makatara, Lobbo dan Awit yang berupa konfigurasi pasir putih, hutan mangrove dengan perairan lautnya yang jernih dan kaya aneka ragam hayati, adalah kekayaan alam yang patut dipelihara agar dapat memberi manfaat berkelanjutan. (PAULUS LONDO)
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pauluslondo/pulau-nusa-dolong-alias-pulau-jolly_552e096e6ea8342c268b459b
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pauluslondo/pulau-nusa-dolong-alias-pulau-jolly_552e096e6ea8342c268b459b
Tidak ada komentar:
Posting Komentar