Kecamatan Senen terletak di Jakarta Pusat. Kecamatan ini dinamakan menurut Pasar Senen. Di kecamatan ini terletak Stasiun Pasar Senen. Planet Senen (yang meliputi Pasar Senen, Stasiun Senen, Gelanggang Remaja Senen, dan Bioskop Grand) merupakan tempat berkumpulnya para seniman yang dikenal dengan sebutan Seniman Senen.
Sejarah Senen diawali dengan dibukanya Pasar Senen oleh Yustinus Vinck pada tahun 1733. Selain Pasar Senen, Vinck juga membuka Pasar Tanah Abang. Dua tahun berikutnya ia menghubungkan kedua pasar tersebut dengan sebuah jalan, yang sekarang disebut Jl. Prapatan dan Jl. Kebon Sirih yang juga merupakan jalur penghubung timur-barat pertama di Jakarta Pusat kini.
Setelah zaman kemerdekaan hingga tahun 1975, Senen menjadi pusat perdagangan terkemuka di Jakarta. Pada tahun 1974 terjadi tragedi Malari yang memporakporandakan Pasar Senen. Mahasiswa pada saat itu, marah atas kebijakan ekonomi Indonesia yang bergantung pada Jepang. Dan Pasar Senen merupakan simbol dari penjualan produk-produk Jepang.
Pada awal abad ke-20, Senen telah menjadi jantung ibu kota dengan denyut perdagangan yang tak pernah berhenti. Beberapa toko besar dan terkenal, banyak berdiri di sepanjang Jalan Kramat Bunder, Jalan Kramat Raya, Jalan Kwitang, dan Jalan Senen Raya. "Apotik Rathkamp" yang setelah kemerdekaan menjadi Kimia Farma, berdiri di seberang Segi Tiga Senen. Di Gang Kenanga terdapat toko sepeda "Tjong & Co". Di Jalan Kramat Bunder terdapat rumah makan terkenal "Padangsche Buffet".[1] Di Jalan Kwitang terdapat toko buku Gunung Agung. Serta dua bioskop terkenal, Rex Theater (kini Bioskop Grand) dan Rivoli Theater di Jalan Kramat Raya. Di Pasar Senen terdapat toko Djohan Djohor milik saudagar Minangkabau, yang terkenal karena sering memberikan potongan harga.
Pada periode 1960-1970, beberapa toko di atas telah lenyap atau berubah kepemilikan. Pada masa kepemimpinan Ali Sadikin, pemerintah melakukan revitalisasi kawasan Senen, dengan membangun Pusat Perdagangan Senen atau yang lebih dikenal dengan Proyek Senen[2] Pembangunan Proyek Senen diikuti dengan pasar inpres dan Terminal Senen. Melengkapi Proyek Senen, pada tahun 1990 dibangun pula super blok modern, Atrium Senen. Atrium Senen diisi sejumlahtenant internasional, seperti Yaohan dan Mark & Spencer, yang pada akhirnya menarik diri karena krisis ekonomi.
Selain proyek Senen dan Atrium Senen, Senen makin dipadati oleh pedagang informal atau biasa disebut dengan pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan disepanjang jalan Kramat dan Kwitang. Jika di sisi Jalan Kramat dipenuhi olehpedagang-pedagang Minangkabau yang menjual aneka penganan, maka Jalan Kwitang merupakan bursa buku terbesar di Jakarta. Selain di kedua ruas jalan tersebut, di sisi stasiun Pasar Senen yakni kawasan Poncol Senen juga banyak PKL yang menjual barang-barang bekas atau barang-barang selundupan.
Pada akhir dekade 1930-an, kawasan Senen mulai didatangi oleh anak-anak muda dari seantero Nusantara. Kebanyakan di antara mereka adalah mahasiswa, aktivis, dan pejuang bawah tanah. Di samping itu terdapat pula para pemain sandiwara, pemain musik, pembuat puisi, dan penulis cerita, yang kemudian hari lebih dikenal dengan sebutan "Seniman Senen". Di antara para seniman itu adalah Chairil Anwar. Beliau kerap mondar-mandir, mencari inspirasi dan menulis sajak di pinggiran Stasiun Senen.[3] Djamaluddin Malik juga merupakan seniman Indonesia yang tumbuh dan besar di kawasan Senen. Di antara para seniman Senen, Djamaluddin dikenal sebagai seorang yang dermawan. Dia menjadi bos atau raja seniman Senen.[4] Selain nama-nama di atas, para seniman Senen yang kelak menjadi orang-orang sukses antara lain Usmar Ismail,Misbach Yusa Biran, Delsy Syamsumar, Sobron Aidit, Soekarno M. Noer, Wim Umboh, dan Wolly Sutinah.
Dipilihnya Pasar Senen menjadi tempat berkumpulnya para seniman, dikarenakan dekatnya kawasan tersebut denganGedung Kesenian Jakarta dan studio film Golden Arrow. Dan dari sini juga, orang bisa mencapai segala penjuru Jakarta dengan biaya amat murah. Pada era 1950-an, tempat kumpul paling ternama adalah kedai Masakan Padang "Ismail Merapi". Di tempat ini, tak hanya para seniman saja yang berkumpul, tetapi juga para pencatut, preman, dan gelandangan. Disini mereka berbaur, hidup dengan penuh kedamaian, dan harmonis.[5]
Pada tahun 1968, gubernur Jakarta Ali Sadikin meresmikan Taman Ismail Marzuki dan kemudian mendirikan Institut Kesenian Jakarta. Selain sebagai obyek wisata, tempat ini juga diperuntukkan bagi para seniman yang hendak mengembangkan bakat dan kemampuannya. Sejak saat itu, maka mereduplah nama besar Seniman Senen. Kini Cikini dengan Taman Ismail Marzuki-nya, telah menggantikan Planet Senen sebagai tempat pembiakan para seniman muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar